Jumat, 06 Mei 2011

JENIS DAN FUNGSI KAPAL PELAYARAN NUSANTARA

JENIS DAN FUNGSI KAPAL PELAYARAN NUSANTARA

(by Ratnasari Mooi)

Pendahuluan
Dunia pelayaran tidak terlepas dari perahu-perahu ataupun kapal-kapal yang digunakan untuk melintasi lautan dan berlayar menuju belahan dunia lainnya. Kapal-kapal yang digunakan mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Dalam perdagangan awal Nusantara terdapat berbagai jenis kapal yang digunakan oleh masyarakat untuk menunjang aktivitas pelayaran mereka, bahkan kerajaan-kerajaan maritim pada waktu itu.
Di Nusantara sendiri terdapat kerajinan untuk membuat perahu-perahu yang digunakan oleh nelayan untuk mencari ikan di laut. Sedangkan perahu-perahu besar dibuat di galangan yang dekat dengan bahan untuk membuat perahu yang paling penting yaitu kayu seperti di daerah pantai utara Jawa dekat Rembang yaitu Lasem, Banjarmasin (Kalimantan) serta Bira dan Selayar (Sulawesi Selatan). Bukti-bukti tertua mengenai penggunaan kapal di Nusantara ditemukan di situs bekas kerajaan Sriwijaya di daerah Palembang, namun sangat tidak lengkap. Indikasi bahwa nenek moyang bangsa Indonesia sudah menggunakan kapal sebagai saran transportasi baik untu kepentingan militer maupun untuk kepentingan ekonomi ditemukan pada relief Candi Borobudur yang dibangun pada abad IX Masehi .

Jenis dan Fungsi Kapal Pelayaran Nusantara
Jenis perahu kecil yang bisa dijumpai di wilayah nusantara seperti perahu pencalong, pinisi, caneam mayang, sampan, sapoe, jegong, bondet, konting, jakung, katir, prawean, lete, janggolan lamba, layar, perahu lesung, dan rakit. Secara umum perahu-perahu ini ada di sepanjang pantai utara Jawa dan Madura. Fungsinya ada yang dipakai untuk menangkap ikan di pesisir pantai, di muara-muara sungai atau sebagai pengangkut barang dan penumpang jarak dekat. Kapal jenis lain yang disebut spenagjava atau balok, yaitu bentuk kecil dan cepat lajunya, kapal ini mudah menghindar dari sergapan kapal-kapal Belanda atau meloloskan diri di sungai-sungai atau hutan bakau .
Perahu bercadik seperti yang terpahat di Candi Borobudur, merupakan petunjuk bahwa pelayaran telah memegang peran penting dalam berbagai aktivitas di perairan Jawa dan Laut Jawa selama berabad-abad sebelum abad ke-15. Bentuk kapal yang dibuat di Nusantara umumnya berbentuk lambung dengan menyambung papan-papan pada lunas kapal dengan pasak kayu, baud, atau paku besi, tanpa menggunakan kerangka (kecuali unyuk penguat tambahan). Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip dilengkapi dua batang kemudi yang menyerupai dayung, dilengkapi layar segi empat yang diikat dengan tali.
Konstruksi perahu bercadik sangat unik. Lambung perahu dibentuk sebagai menyambungkan papan-papan pada lunas kapal. Kemudian disambungkan pada pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut, atau paku besi. Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip. Kapal ini dilengkapi dengan dua batang kemudi menyerupai dayung, serta layar berbentuk segi empat. Kapal Jawa jelas berbeda dengan kapal Tiongkok yang lambungnya dikencangkan dengan bilah-bilah kayu dan paku besi. Selain itu kapal Tiongkok memiliki kemudi tunggal yang dipasang pada palang rusuk buritan.
Pada masa kerajaan Sriwijaya, teknologi perkapalan juga sudah dikembangkan untuk mengawasi perdagangan dan daerah koloninya. Untuk mengarungi lautan, Sriwijaya menggunakan kapal-kapal besar dalam jalur perdagangan di Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan. Bobot kapal Sriwijaya mencapai 250 sampai 1000 ton, dengan panjang 60 meter. Kapal itu mampu memuat penumpang sekitar 1000 orang, belum termasuk muatan barang. Kapal Jung Cina abad ke-16 tidak lebih dari tiruan bentuk kapal Sriwijaya .
Kondisi perkapalan di Sriwijaya sebagai negara maritim jelas membuktikan suatu kemampuan mengagumkan yang dimiliki oleh pelaut Indonesia. Perkembangan pembuatan kapal di Nusantara sangat baik di Asia Tenggara. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya lukisan kapal besar dengan layar ganda serta cadiknya yang terpahat di relief Candi Borobudur. Melihat tipe kapal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kapal tersebut merupakan kapal untuk jenis pelayaran Samudera yang berteknologi tinggi. Dengan demikian abad IX orang Jawa di pedalaman telah mengenal pelayaran samudera .
Pada relief Candi Borobudur terdapat kapal yang mencerminkan adanya penggunaan kapal sebagai sarana transportasi ataupun armada perang. Lambung kapal Borobudur memiliki sepasang penggandung yang terapung yang berfungsi sebagai penyeimbang dan tempat para pendayung. Kapal Borobudur memiliki dua tiang dan layar berkaki tiga untuk mengibarkan layar empat persegi panjang dan memiliki haluan di mana digantungkan layar persegi yang pada kapal-kapal Yunani kuno disebut artemon dan seperti Jung di Jawa abad XVII.


Gambar 1. Relief Kapal di Candi Borobudur
(sumber: dokumen pribadi)

Kapal yang dipahatkan di Borobudur mempunyai kesamaan dengan kapal jenis kora-kora sebagaimana yang digambarkan oleh orang-orang Eropa pada saat pertama kali datang di Nusantara. Kapal jenis ini merpakan kapal perang yang diawaki oleh para prajurit angkatan laut untuk melakukan pertempuran laut melawan bajak laut atau armada musuh dan untuk penaklukan daerah pantai. Jenis kora-kora ini sering digunakan oleh para perompak dari Sulu dan Sulawesi. Tampilan kapal di Borobudur mungkin merupakan kebanggaan tersendiri bagi penguasa kerajaan Mataram yang sesungguhnya merupakan negara agraris. Pada waktu itu sudah berkembang kapal-kapal dagang yang lebih baik yang digunakan untuk perdagangan di Nusantara maupun intra Asia .
Antonio Galvao menguraikan tentang cara orang Maluku membuat kapal. Kapal dibuat dengan bentuk di tengah-tengah menyerupai telur dan kedua ujungnya melengkung ke atas. Dengan demikian kapal dapat berlayar maju dan mundur. Kapal ini tanpa menggunakan paku, di mana lunas, rusuk, linggi depan, serta linggi belakang disesuaikan dan diikat dengan tali ijuk melalui lubang yang dibuat di beberapa tempat tertentu. Untuk menyambung papan mereka membuat pena pada ujung papan lainnya dibuat lubang kecil untuk memasukkan pena tersebut .
Pada abad ke-18, di Maluku telah dikenal perahu “kora-kora” yang dipergunakan untuk mengangkut orang dan bahan. Model perahu ini cukup bagus sehingga digambarkan sebagai perahu terbaik pada abad ke-18. Kora-kora dilengkapi dengan sebuah layar besar dan sebagai alat penguat agar tidak terbalik dilengkapi dengan cadik. Kora-kora selain digunakan sebagai sarana untuk perdagangan laut, biasanya juga digunakan sebagai kapal perang. Oleh karena fungsinya yang dipergunakan untuk kapal perang, maka kapal ini dibuat secara ramping dan panjang. Dengan bentuk yang ramping lebih mudah untuk mencapai kecepatan maksimal. Sementara itu bentuk perahu yang panjang dimasukkan agar dapat menampung banyak penumpang. Di samping itu kapal ini juga memiliki tempat yang terpisah antara pengayuh dan tentara.

Gambar 2. Perahu kora-kora dari tahun 1789.
(Sumber: Adrian Horridge, The Prahu, 1985. Hal 4)

Laporan bangsa-bangsa Barat mengenai kapal yang ada di Nusantara selain kapal bertipe Kora-kora juga terdapat kapal yang disebut Jung. Kapal tipe “Jung” (bahasa Portugis junqos, bahasa Itali giunchi atau zonchi) dalam bahasa Cina chuan, dan dalam bahasa Jawa Jong. Merupakan kapal-kapal barang dengan tiga atau empat layar besar, istilah “jung” dipakai pertama kali dalam catatan perjalanan Rahib Odorico, John de Marignolli dan Ibnu Battutah pada abad ke-14. Jung dari Jawa yang menuju Malaka berhasil ditawan Portugis tahun 1511 yang digambarkan memiliki empat lapis papan lambung yang mampu menahan tembakan meriam Portugis berbobot sekitar 600 ton dengan ukuran melebihi kapal-kapal perang Portugis .
Keberadaan kapal Jung terlihat pada saat pelayaran orang-orang Portugis mencapai perairan Asia Tenggara, mereka mendapatkan kawasan perairan yang didominasi oleh kapal-kapal Jung Jawa khususnya di jalur utama perdagangan rempah-rempah antara Maluku- Jawa- Malaka. Jung Jawa merupakan perahu dagang yang besar yang mampu menyeberangi Laut Jawa, Laut Cina Selatan hingga teluk Benggala. Kapal jenis ini yang membuat orang-orang Portugis terheran-heran mengenai kemajuan perkapalan di Nusantara pada awal abad XVI. Sejalan dengan kemajuan dunia perkapalan Barat yang digunakan untuk melakukan monopoli perdagangan di Nusantara jung-jung Jawa ini segera mengalami kemunduran. Kemunduran ini disebabkan oleh kompetisi dengan kapal-kapal Barat yang memiliki konstruksi, perlengkapan dan persenjataan yang lebih baik yang mampu menghancurkan kapal-kapal tradisional di Nusantara . Selain itu dikarenakan adanya keberadaan kapal shallop dan brigantine, lama kelamaan menggeser kapal jung, pengjava, dan lancara.

Gambar 3. Kapal Jung Jawa abad ke-16.
(Sumber: Zuhdi, ed. 2003. Simpul-simpul Sejarah Maritim. Hal 46)

Jung pada abad ke-15 hingga ke-16 tidak hanya digunakan para pelaut Nusantara. Para pelaut Tionghoa juga menggunakan kapal layar jenis ini. Jung memegang peranan penting dalam perdagangan Asia Tenggara masa lampau. Ia menyatukan jalur perdagangan Asia Tengara yang meliputi Campa (ujung selatan Vietnam) , Ayutthaya (Thailand), Aceh, Malaka dan Makassar.
Hanya saja, keadaan itu berbanding terbalik menjelang akhir abad ke-17, ketika perang Jawa tidak bisa lagi membawa hasil bumi dengan jungnya ke pelbagai penjuru dunia. Bahkan, orang Jawa sudah tidak lagi punya galangan kapal. Kantor Maskapai Perdagangan Hindia-Belanda (VOC) di Batavia melaporkan pada 1677 bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah tidak lagi memiliki kapal-kapal besar.
Para sejarawan menyimpulkan, jung dan tradisi besar maritim Jawa hancur akibat ekspansi militer-perniagaan Belanda. Pada abad ke-17 kapal-kapal Jung Jawa cenderung dianggap sebagai saingan oleh Belanda (VOC), terutama jika jung-jung tersebut melakukan aktivitas perdagangan rempah-rempah dari Maluku atau perdagangan beras ke Malaka-Portugis. Pada pertengahan abad ke-17 perahu pribumi tidak lagi disebut sebagai Jung. Kapal yang terbesar adalah kapal milik penguasa, dalam bentuk kapal perang atau kapal pengangkut barang dengan desain Eropa atau Cina yang berada di tangan raja-raja Banten, Arakan dan Ayutthaya. Kata jung pada periode ini hanya digunakan untuk kapal milik orang Cina yang berbobot 200-800 ton. Menghilangnya Jung Jawa (juga Jung Asia Tenggara) dari perairan nusantara diakibatkan malapetaka yang ditimbulkan oleh orang-orang Eropa. Karena Jung adalah jenis kapal dagang, yang berukuran besar sehingga efisien untuk perdagangan, tetapi lemah secara pertahanan. Besarnya ukuran Jung menjadikan kapal tersebut tidak dapat berlayar dengan cepat untuk menghindarkan diri atau melakukan manuver menghindari serangan musuh, bangsa-bangsa Eropa.
Menurut Knaap, setelah kedatangan VOC di Nusantara sekitar abad ke 17 di Jawa dijumpai bentuk perahu Contingh (perahu contingh Jawa berukuran kecil bertiang satu), tiang (sejenis perahu besar), groap (perahu bertiang dua), galjoot (perahu layar berukuran lebar dan datar dengan satu geladak yang tinggi). Knaap juga menjelaskan bahwa jenis kapal di pulau Jawa setelah dikuasai oleh VOC, dapat diklasifikasikan menurut wilayah (rute) yang terbagi atas empat kategori yaitu:
a. Internasional : Spegelchip (kapal buritan besar),
b. Wilayah Asia : Scheepe (kapal kecil, wakang),
c. Antara pulau : Brigantijn (brigantine), Chialoup (shallop), gonting,
d. Lokal : Pancala, cuena, Mayang .
Pelayaran wilayah Asia dan Internasioanl menghubungkan wilayah Asia di luar Nusantara dengan Eropa. Adapun pelayaran antar pulau menghubungkan perjalanan dan pelayaran melalui laut Jawa tetapi tidak keluar dari kawasan Melayu dan Nusantara (Indonesia) sedangkan pelayaran lokal adalah pelayaran di kawasan pantai utara Jawa yang melibatkan daerah-daerah disekitar pantai utara Jawa.
Kapal-kapal VOC yang berlayar ke Jawa memiliki buritan yang luas dengan kapasitas kurang lebih 1000 ton. Kapal-kapal dengan kapasitas 200-600 ton banyak dinahkodai oleh pedagang Inggris dari India dan nahkoda Cina dari propinsi Fukienyang membawa barang-barang kelontong. Kapal-kapal Jawa yaitu goting berkapasitas antara 20-200 ton untuk pelayaran antara pulau. Pelayaran lokal dilayani kapal berkapasitas 13-20 ton dan untuk pelayaran di kawasan perairan dangkal dilakukan oleh kapal-kapal yang bawahnya datar dan laju diperairan sangat gesit. Kapal yang sering ditemukan di Jawa adalah jenis kapal Mayang yang sering digunakan untuk memancing.
Di wilayah Laut Jawa bagian Timur, tepatnya di sekitar pulau Madura (kepulauan Sapudi dan Kangean). Pada akhir abad ke-19 nampak jelas bahwa nelayan adalah mata pencaharian utama. Di daerah ini dijumpai berbagai jenis kapal atau perahu yang banyak digunakan oleh masyarakat setempat. Berdasarkan jenisnya, perahu kepualuan ini dikelompokkan dalam tiga jenis. Pertama, perahu bersayap yakni tipe yang berukuran kecil dan dapat berubah arah dengan cepat. Pada kedua sisi perahu dipasang dua cadik yang berfungsi sebagai pengendali. Perahu ini dibuat dari jenis bambu yang sangat besar, yang termasuk tipe perahu ini adalah Jakung, paduwang, kroman dan lomolowan. Kedua, perahu model sampan atau Kano yaitu perahu yang dibuat dari batang pohon besar dan tidak bersayap. Perahu sampan dengan kecepatan paling tinggi disebut letek-letek, sedang sampan dengan ukuran paling besar dan memiliki layar segitiga atau segi empat disebut mavang. Ketiga jenis perahu Bugis yang paling besar disebut padewak, jenis yang lebih kecil disebut pelari atau pejala, sedang jenis perahu yang paling kecil disebut soppek . Dan kapal Pinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau. Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia.

Gambar 4. Jenis Perahu Bugis.
(Sumber: atlas etnografi yang terdapat dalam Boegineesch-Hollandsch Woordenboek dari B.F. Matthes, Den Hag. 1874.)



Penutup
Di Nusantara pelayaran menggunakan kapal-kapal tradisional dapat diketahui ketika ditemukannya peninggalan kerajaan-kerajaan. Seperti kerajaan Sriwijaya yang mempunyai kapal untuk dapat berfungsi sebagai alat transportasi untuk kegiatan perang dan perdagangan. Penemuan relief kapal di Borobudur juga membuktikan adanya kapal yang dibuat oleh penduduk di nusantara dan digunakan untuk kepentingan kerajaan maupun untuk kehidupan sehari-hari seperti memancing.
Kapal yang terkenal adalah kapal Jung yang merupakan pembuktian bahwa di Nusantara berkembang teknologi pembuatan kapal. Pada saat itu jung-jung ini menguasai jalur rempah rempah yang sangat penting, yang terbentang antara Malaka, Jawa, dan Maluku. Dan Kapal jenis ini yang membuat orang-orang Portugis terheran-heran mengenai kemajuan perkapalan di Nusantara pada awal abad XVI. Selain itu juga terdapat kapal-kapal dari Nusantara bagian timur seperti kapal pinisi dari Bugis.
Kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara, seperti Belanda mengakibatkan jumlah kapal-kapal di Nusantara berkurang. Akibat dari kekhawatiran pelayaran dari pribumi akan menghalangi niat Belanda untuk menguasai pelayaran di Nusantara sehingga kapal-kapal besar seperti Jung dilarang untuk berlayar dan rusak karena serangan Belanda.











DAFTAR PUSTAKA

Horridge, Adrian. 1981. The Prahu : Traditional Sailing Boat of Indonesia. Oxford University Press.

Irfan, Nia Kurnia Sholifat. 1983. Kerajaan Sriwijaya Pusat Pemerintahan dan Perkembangannya. Jakarta: Giri Mukti Pasaka.

Jochim, E.F. “Beschrijving van den Sapudi Archipel”, TBG. 1893. Dalam Lembaran Sejarah Vol. I. No. I. 1997.

Knaap, Gerrit 1995. “Shipping and Trade in Jawa, c. 1775: A Quantitative Analysis” Makalah pada ceramah ilmiah di Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung.
Manguin. 1980. “The Southeast Asian Ship: An Historical Approach. JSEAS, XI (2): 266-276.
Poesponegoro, Marwati Djoened, dkk. 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.

Roelofs Meilink,. MAP. 1969. Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1680. The Hague: Martinus Nijhoff.

Suroyo. Djuliati, A.M, dkk. 2007. Sejarah Maritim Indonesia I “menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad ke-17. Semarang: Penerbit Jeda.