Senin, 22 Agustus 2011

Filsafat Sejarah



SPEKULATIF FILSAFAT SEJARAH: KANT DAN HERDER
by Sri Dwi Ratnasari

Gambaran Umum
Bagian sejarah filsafat merupakan bentuk cabang filsafat yang dikenal sebagai teori pengetahuan atau epistemologi. Tetapi konsepsi itu oleh kebanyakan penulis pada abad kesembilan belas sama sekali berbeda. Filsafat sejarah, telah sebagai objek sejarah dalam arti res gestae tidak historia rerum gestarum, dan tugas eksponen adalah untuk menghasilkan penafsiran saja, sebenarnya peristiwa menunjukkan bahwa jenis khusus kejelasan dapat ditemukan di dalamnya.
Jika kita bertanya mengapa sejarah demikian diduga merupakan masalah bagi filsuf, jawabannya adalah karena sifat tampak kacau dari fakta-fakta yang mengarangnya. Pada abad ke-19 sejarah filsafat muncul terdiri dari mata rantai peristiwa yang terhubung secara kurang lebih longgar atau tanpa sengaja, di mana pada pandangan pertama di tingkat manapun, tidak ada rencana yang jelas atau pola bisa dilacak.
Sebuah filsafat sejarah dalam arti khusus berarti, seperti yang akan jelas, perawatan spekulatif fakta historis yang rinci, dan karena itu milik metafisika daripada teori pengetahuan. Dalam Hegel sendiri hanya bagian dari proyek yang komprehensif dipahami dengan vboldness luar biasa untuk menampilkan rasionalitas yang mendasari dari semua sisi dan aspek dari pengalaman manusia. Filsafat sejarah terjadi dalam proyek ini bersama dengan filsafat alam, seni, agama dan politik, untuk semua perawatan umum yang sama diterapkan.

Filsafat Sejarah Kant
Ilmu pengetahuan menurut Kant mempunyai bentuk dan materi (isi). Isi pengetahuan berasal dari pengalaman dan bentuk pengetahuan dianggap berasal dari rasio. Pengetahuan berasal dari akal-akal manusia yang dituangkan menjadi sebuah pengetahuan.
Filsafat kant bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada kepastiannya. Ia ingin membersihkan pengenalan dari keterikatan kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Jadi filsafatnya dimaksud sebagai penyadaran atas kemampuan—kemampuan rasio secara obyektif dan menentukan batas-batas kemampuannya, untuk member tempat kepada iman dan kepercayaan.
Metode yang digunakan Kant adalah metode kritis dimana ia mendasarkan diri atas nilai yang tinggi dari akal, namun tidak mengingkari adanya batas-batas kemampuan akal tersebut. Metode kritis Kant adalah ingin mencari unsur aprioris dari pengetahuan yang menanyakan mengapa dan bagaimana kepastian dari suatu pengetahuan itu mungkin. Dan mengenai timbulnya masalah apakah pengetahuan yang lepas dari pengalaman, bahkan lepas dari kesan-kesan pancaindera (pengetahuan apriori), sungguh-sungguh ada, menurut Kant tidak perlu dijawab, karena pertanyaan ini tidak mungkin ada jawabnya.
Apesteori menurut istilah adalah menunjukkan sejenis pengetahuan yang dapat dicapai hanya dari pengalaman, maka dari itu pengetahuan dapat dirumuskan hanya setelah observasi dan eksperimen. Apriori digunakan, kontras dengan apesteori, untuk mengacu kepada kesimpulan-kesimpulan yang diasalkan dari apa yang sudah ditentukan, dan bukan dari pengalaman. Apriori berarti tidak bergantung pada pengalaman inderawi. Immanuel kant mengkritik empirisme, ia berpendapat bahwa empirisme harus dialandasi dengan teori-teori dari rasionalisme sebelum dianggap sah melalui proses epistomologi.
Kant dalam karyanya “The Critique Of Pure Reason” mencoba menunjukkan adanya proposisi dari jenis yang sangat umum yang merupakan bagian dari filsuf dapat menegaskan tentang sifat independen dari pengalaman dan dia berpendapat bahwa pengetahuan yang proposisi adalah dorongan positif untuk menyelidiki  empiris. Pengetahuan tentang proposisi dalam proses sejarah harus mendorong sejarawan untuk melakukan studi sebagai kebanyakan keyakinan bahwa ada jalan keluar untuk dapat mencarinya. 
Ajaran Kant disebut kritisme karena ia menggunakan metode kritis, ia mendasarkan diri atas nilai yang tinggi dari akal, namun tidak mengingkari adanya batas-batas kemampuan akal tersebut. Karena dengan kritisme dapat mencari unsur aprioris dari pengetahuan yang menanyakan mengapa dan bagaimana kepastian dari suatu pengetahuan itu mungkin.
Prinsip Kant dalam sejarah adalah prinsip materi. Dia menyatakan bahwa pada prinsipnya proposisi empiris maupun sebagai kebenaran yang diperlukan dalam arti yang umum, kausalitas baginya adalah bukan hanya suatu kebenaran yang diperlukan tetapi lebih memerlukan kritik. Kritik pertama adalah regulatif  atau heuristik yang berguna dalam penuntutan atas penelitian empiris. Penulisan sejarah didasarakan pada jenis yang ada dalam pikiran dengan pengetahuan luas tentang fakta-fakta sejarah tertentu. Filsafat sejarah adalah liontin untuk filsafat moral. Menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia.  Yang pertama adalah materi pengetahuan yaitu kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita.  Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Yang kedua adalah bentuk pengetahuan yaitu kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan.
Kant berpikir tidak hanya bahwa ada pola dalam sejarah tetapi lebih jauh bahwa itu adalah bagian dari jenis tertentu. Jika sejarah adalah apa yang tampaknya menjadi kepercayaan dalam pemeliharaan ilahi adalah dilarang, namun bahwa keyakinan, atau sesuatu seperti itu (argumen berjalan), sangat penting jika kita ingin menjalani kehidupan moral. Tugas filsuf tentang sejarah sesuai untuk menunjukkan bahwa, meskipun penampilan pertama, sejarah adalah proses rasional dalam arti ganda pada satu melanjutkan rencana dimengerti dan cenderung untuk tujuan yang dapat menyetujui alasan moral.
Bagaimana hasil ini dicapai? Petunjuk dengan interpretasi sejarah yang filosofis Kant yang ditawarkan ternyata sangat sederhana; itu, pada dasarnya, sebuah variasi dari teori umum kedelapan belas abad kemajuan. Sejarah, ia menyarankan akan masuk akal jika bisa dilihat sebagai kemajuan, terus menerus meskipun tidak mungkin langsung, menuju keadaan yang lebih baik urusan.
Untuk menunjukkan bagaimana sejarah dapat memadukan pandangan yang terbaik dari pihak rasionalis dan empiris. Jika ilmu pengetahuan terbatas pada dunia fenomena maka diluar dunia fenomena itu ada ruang bagi kebebasan dan tempat yang tak terbatas bagi Tuhan. Pengetahuan yang dihasilkan kaum rasional yang bersifat analistik apriori yaitu suatu bentuk putusan dimana predikat sudah termasuk dengan sendirinya ke dalam subyek. Kaum empiris dalam putusan yang sintetik apospriori yaitu suatu bentuk putusan dimana predikat belum termasuk subyek. Kant kemudian memunculkan gagasan dari pertentang antara rasional dan empiris dengan mengatakan bahwa pengetahuan bersifat Sintetik apriori yaitu suatu putusan yang bersifat universal dan pasti baik di bidang indriawi dengan akal rasio.

Filsafat Sejarah Herder
Herder merupakan filsuf yang berpendapat lain mengenai pengetahuan, dia menunjukkan antithesis terhadap ajaran Kant mengenai pengetahuan yang empiris dan apriori. Herder menyatakan bahwa pengetahuan merupakan bentuk dari kompetensi dari pikiran manusia. Menulis filsafat sejarah bukan hanya untuk membicarakan kemungkinan, tetapi juga harus mempelajari dari awal. Kita harus memahami sejarah manusia terdahulu, mengerti tempat manusia dalam alam semesta, dan mengambil subyek yang serius. Sejarah menurut Herder adalah resultan dari interaksi kedua kekuatan, yaitu kekuatan eksternal dari manusia dan kekuatan internal yang hanya dapat digambarkan melalui roh manusia atau lebih tepatnya semangat berbagai bangsa dimana manusia berada.
jika kita memahami sejarah manusia pertama-tama kita harus mengerti tempat manusia dalam alam semesta, dan mengambil subjek cukup serius. Seberapa serius dia mengambil sendiri ditunjukkan oleh fakta bahwa ia dimulai dengan bentangan pada karakter fisik bumi dan hubungannya dengan planet lain.
Memahami sejarah bangsa tentu harus memperhatikan latar belakang geografis dan iklim, tetapi itu bukan hanya tolak ukur tetapi juga dengan memperhatikan atau menjelaskan seluruh perkembangan dalam istilah-istilah sejarah bangsa. Setiap bangsa dijiwai oleh semangat tertentu yang menemukan ekspresi dalam apa pun yang dilakukan anggotanya. Herder tidak puas dengan adanya teori sejarah materialisme murni tetapi juga membicarakan langkah penting menuju kelepasan diri dari pandangan bukan sejarah. Peristiwa sejarah tidak mengenal hukum, tetapi proses menurut hukum seperti perisriwa alam. Mencoba menemukan tujuan umum sejarah, yaitu suatu menunjuk ke seluruh proses sejarah. Herder menolak Kant yang dengan kritik apriori dia menegaskan bahwa dalam kritik yang lebih hati-hati diperlukan adalah pikiran imajinatif untuk dapat mengerti filsafat sejarah.
Herder melukiskan perkembangan sejarah alam dari organisme yang paling sederhana sampai manusia. Manusia berada pada puncak hierarki makhluk hidup sebab dalam dirinya tujuan alam terpebuhi. Baginya manusia tidak hanya ditujukan untuk rasio dan kebebasan, tapui juga agama, dalam agama manusia bisa memahami sebab-sebab tak tampaknya dari gejala-gejala tampak.




Tanggapan
Kant mengatakan bahwa pengalaman kita berada dalam bentuk-bentuk yang ditentukan oleh perangkat indrawi kita, maka hanya dalam bentuk-bentuk itulah kita menggambarkan eksitensi segala hal, kelemahan dari pendapatnya ini bahwa pengalaman ditentukan oleh perangkat indrawi, dari pernyataan ini kant mengabaikan pengalaman yang timbul dari luar indrawi, yakni misalkan metafisika, psikologi, karena pengalaman ini tidak bersifat indrawi, secara tidak langsung Kant menentang pengalaman yang tidak indrawi atau metafisik, sehingga seseorang tidak dapat menggambarkan eksistensi sesuatu.
Kant terkenal dengan ajaran kritisme, dalam bukunya The Critique Of Pure Reason” atau “Kritik Murni Rasio” dapat diketahui bahwa dengan menggunakan bentuk-bentuk aprioris, Kant sangat memberikan penghargaan kepada kemampuan akal dengan mengakui kebenaran aliran rasionalisme dan ia juga sepenuhnya mengakui keharusan adanya pengalaman dalam penulisan ilmu pengetahuan yang merupakan bagian dari aliran empirisme.
Sejarah adalah ilmu pengetahuan yang merupakan buah kemampuan akal manusia dan diperoleh dari pengalaman manusia yang dituangkan dalam penulisan dengan melalui kritik sejarah. Kritik dalam sejarah dilakukan tidak hanya dengan akal tetapi juga dengan pemikiran imajinatif yang diperlukan dalam penulisan sejarah.
Kant menyatakan bahwa harus ada unsur-unsur dalam pengetahuan, dalam kesadaran berpikir yang memang ada sebelumnya, yang lepas dari pengalaman dan berlaku sebelum ada pengalaman. Pengetahuan dimulai dari pengalaman dan tidak dapat diragukan lagi. Jadi sejarah sebagai pengetahuan mempunyai unsur-unsur yang tidak terlepas dari perilaku manusia, membuat gambaran-gambaran tentang peristiwa dan menghubungkan dengan akal sehingga  dapat mengolah bahan-bahan yang tersedia menjadi sebuah tulisan sejarah.
Sejarah menurut Herder adalah resultan dari interaksi kedua kekuatan, yaitu kekuatan eksternal dari manusia dan kekuatan internal yang hanya dapat digambarkan melalui roh manusia atau lebih tepatnya semangat berbagai bangsa dimana manusia berada. Peristiwa sejarah tidak mengenal hukum, tetapi proses menurut hukum seperti peristiwa alam. Mencoba menemukan tujuan umum sejarah, yaitu suatu menunjuk ke seluruh proses sejarah.
Filsafat sejarah menurut Herder melukiskan optimisme pencerahan bahwa sejarah secara linear menghasilkan kemajuan-kemajuan bagi kesejahteraan umat manusia dan emansipasi manusia dari segala bentuk kebodohan dan takhayul.

Jumat, 06 Mei 2011

JENIS DAN FUNGSI KAPAL PELAYARAN NUSANTARA

JENIS DAN FUNGSI KAPAL PELAYARAN NUSANTARA

(by Ratnasari Mooi)

Pendahuluan
Dunia pelayaran tidak terlepas dari perahu-perahu ataupun kapal-kapal yang digunakan untuk melintasi lautan dan berlayar menuju belahan dunia lainnya. Kapal-kapal yang digunakan mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Dalam perdagangan awal Nusantara terdapat berbagai jenis kapal yang digunakan oleh masyarakat untuk menunjang aktivitas pelayaran mereka, bahkan kerajaan-kerajaan maritim pada waktu itu.
Di Nusantara sendiri terdapat kerajinan untuk membuat perahu-perahu yang digunakan oleh nelayan untuk mencari ikan di laut. Sedangkan perahu-perahu besar dibuat di galangan yang dekat dengan bahan untuk membuat perahu yang paling penting yaitu kayu seperti di daerah pantai utara Jawa dekat Rembang yaitu Lasem, Banjarmasin (Kalimantan) serta Bira dan Selayar (Sulawesi Selatan). Bukti-bukti tertua mengenai penggunaan kapal di Nusantara ditemukan di situs bekas kerajaan Sriwijaya di daerah Palembang, namun sangat tidak lengkap. Indikasi bahwa nenek moyang bangsa Indonesia sudah menggunakan kapal sebagai saran transportasi baik untu kepentingan militer maupun untuk kepentingan ekonomi ditemukan pada relief Candi Borobudur yang dibangun pada abad IX Masehi .

Jenis dan Fungsi Kapal Pelayaran Nusantara
Jenis perahu kecil yang bisa dijumpai di wilayah nusantara seperti perahu pencalong, pinisi, caneam mayang, sampan, sapoe, jegong, bondet, konting, jakung, katir, prawean, lete, janggolan lamba, layar, perahu lesung, dan rakit. Secara umum perahu-perahu ini ada di sepanjang pantai utara Jawa dan Madura. Fungsinya ada yang dipakai untuk menangkap ikan di pesisir pantai, di muara-muara sungai atau sebagai pengangkut barang dan penumpang jarak dekat. Kapal jenis lain yang disebut spenagjava atau balok, yaitu bentuk kecil dan cepat lajunya, kapal ini mudah menghindar dari sergapan kapal-kapal Belanda atau meloloskan diri di sungai-sungai atau hutan bakau .
Perahu bercadik seperti yang terpahat di Candi Borobudur, merupakan petunjuk bahwa pelayaran telah memegang peran penting dalam berbagai aktivitas di perairan Jawa dan Laut Jawa selama berabad-abad sebelum abad ke-15. Bentuk kapal yang dibuat di Nusantara umumnya berbentuk lambung dengan menyambung papan-papan pada lunas kapal dengan pasak kayu, baud, atau paku besi, tanpa menggunakan kerangka (kecuali unyuk penguat tambahan). Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip dilengkapi dua batang kemudi yang menyerupai dayung, dilengkapi layar segi empat yang diikat dengan tali.
Konstruksi perahu bercadik sangat unik. Lambung perahu dibentuk sebagai menyambungkan papan-papan pada lunas kapal. Kemudian disambungkan pada pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut, atau paku besi. Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip. Kapal ini dilengkapi dengan dua batang kemudi menyerupai dayung, serta layar berbentuk segi empat. Kapal Jawa jelas berbeda dengan kapal Tiongkok yang lambungnya dikencangkan dengan bilah-bilah kayu dan paku besi. Selain itu kapal Tiongkok memiliki kemudi tunggal yang dipasang pada palang rusuk buritan.
Pada masa kerajaan Sriwijaya, teknologi perkapalan juga sudah dikembangkan untuk mengawasi perdagangan dan daerah koloninya. Untuk mengarungi lautan, Sriwijaya menggunakan kapal-kapal besar dalam jalur perdagangan di Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan. Bobot kapal Sriwijaya mencapai 250 sampai 1000 ton, dengan panjang 60 meter. Kapal itu mampu memuat penumpang sekitar 1000 orang, belum termasuk muatan barang. Kapal Jung Cina abad ke-16 tidak lebih dari tiruan bentuk kapal Sriwijaya .
Kondisi perkapalan di Sriwijaya sebagai negara maritim jelas membuktikan suatu kemampuan mengagumkan yang dimiliki oleh pelaut Indonesia. Perkembangan pembuatan kapal di Nusantara sangat baik di Asia Tenggara. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya lukisan kapal besar dengan layar ganda serta cadiknya yang terpahat di relief Candi Borobudur. Melihat tipe kapal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kapal tersebut merupakan kapal untuk jenis pelayaran Samudera yang berteknologi tinggi. Dengan demikian abad IX orang Jawa di pedalaman telah mengenal pelayaran samudera .
Pada relief Candi Borobudur terdapat kapal yang mencerminkan adanya penggunaan kapal sebagai sarana transportasi ataupun armada perang. Lambung kapal Borobudur memiliki sepasang penggandung yang terapung yang berfungsi sebagai penyeimbang dan tempat para pendayung. Kapal Borobudur memiliki dua tiang dan layar berkaki tiga untuk mengibarkan layar empat persegi panjang dan memiliki haluan di mana digantungkan layar persegi yang pada kapal-kapal Yunani kuno disebut artemon dan seperti Jung di Jawa abad XVII.


Gambar 1. Relief Kapal di Candi Borobudur
(sumber: dokumen pribadi)

Kapal yang dipahatkan di Borobudur mempunyai kesamaan dengan kapal jenis kora-kora sebagaimana yang digambarkan oleh orang-orang Eropa pada saat pertama kali datang di Nusantara. Kapal jenis ini merpakan kapal perang yang diawaki oleh para prajurit angkatan laut untuk melakukan pertempuran laut melawan bajak laut atau armada musuh dan untuk penaklukan daerah pantai. Jenis kora-kora ini sering digunakan oleh para perompak dari Sulu dan Sulawesi. Tampilan kapal di Borobudur mungkin merupakan kebanggaan tersendiri bagi penguasa kerajaan Mataram yang sesungguhnya merupakan negara agraris. Pada waktu itu sudah berkembang kapal-kapal dagang yang lebih baik yang digunakan untuk perdagangan di Nusantara maupun intra Asia .
Antonio Galvao menguraikan tentang cara orang Maluku membuat kapal. Kapal dibuat dengan bentuk di tengah-tengah menyerupai telur dan kedua ujungnya melengkung ke atas. Dengan demikian kapal dapat berlayar maju dan mundur. Kapal ini tanpa menggunakan paku, di mana lunas, rusuk, linggi depan, serta linggi belakang disesuaikan dan diikat dengan tali ijuk melalui lubang yang dibuat di beberapa tempat tertentu. Untuk menyambung papan mereka membuat pena pada ujung papan lainnya dibuat lubang kecil untuk memasukkan pena tersebut .
Pada abad ke-18, di Maluku telah dikenal perahu “kora-kora” yang dipergunakan untuk mengangkut orang dan bahan. Model perahu ini cukup bagus sehingga digambarkan sebagai perahu terbaik pada abad ke-18. Kora-kora dilengkapi dengan sebuah layar besar dan sebagai alat penguat agar tidak terbalik dilengkapi dengan cadik. Kora-kora selain digunakan sebagai sarana untuk perdagangan laut, biasanya juga digunakan sebagai kapal perang. Oleh karena fungsinya yang dipergunakan untuk kapal perang, maka kapal ini dibuat secara ramping dan panjang. Dengan bentuk yang ramping lebih mudah untuk mencapai kecepatan maksimal. Sementara itu bentuk perahu yang panjang dimasukkan agar dapat menampung banyak penumpang. Di samping itu kapal ini juga memiliki tempat yang terpisah antara pengayuh dan tentara.

Gambar 2. Perahu kora-kora dari tahun 1789.
(Sumber: Adrian Horridge, The Prahu, 1985. Hal 4)

Laporan bangsa-bangsa Barat mengenai kapal yang ada di Nusantara selain kapal bertipe Kora-kora juga terdapat kapal yang disebut Jung. Kapal tipe “Jung” (bahasa Portugis junqos, bahasa Itali giunchi atau zonchi) dalam bahasa Cina chuan, dan dalam bahasa Jawa Jong. Merupakan kapal-kapal barang dengan tiga atau empat layar besar, istilah “jung” dipakai pertama kali dalam catatan perjalanan Rahib Odorico, John de Marignolli dan Ibnu Battutah pada abad ke-14. Jung dari Jawa yang menuju Malaka berhasil ditawan Portugis tahun 1511 yang digambarkan memiliki empat lapis papan lambung yang mampu menahan tembakan meriam Portugis berbobot sekitar 600 ton dengan ukuran melebihi kapal-kapal perang Portugis .
Keberadaan kapal Jung terlihat pada saat pelayaran orang-orang Portugis mencapai perairan Asia Tenggara, mereka mendapatkan kawasan perairan yang didominasi oleh kapal-kapal Jung Jawa khususnya di jalur utama perdagangan rempah-rempah antara Maluku- Jawa- Malaka. Jung Jawa merupakan perahu dagang yang besar yang mampu menyeberangi Laut Jawa, Laut Cina Selatan hingga teluk Benggala. Kapal jenis ini yang membuat orang-orang Portugis terheran-heran mengenai kemajuan perkapalan di Nusantara pada awal abad XVI. Sejalan dengan kemajuan dunia perkapalan Barat yang digunakan untuk melakukan monopoli perdagangan di Nusantara jung-jung Jawa ini segera mengalami kemunduran. Kemunduran ini disebabkan oleh kompetisi dengan kapal-kapal Barat yang memiliki konstruksi, perlengkapan dan persenjataan yang lebih baik yang mampu menghancurkan kapal-kapal tradisional di Nusantara . Selain itu dikarenakan adanya keberadaan kapal shallop dan brigantine, lama kelamaan menggeser kapal jung, pengjava, dan lancara.

Gambar 3. Kapal Jung Jawa abad ke-16.
(Sumber: Zuhdi, ed. 2003. Simpul-simpul Sejarah Maritim. Hal 46)

Jung pada abad ke-15 hingga ke-16 tidak hanya digunakan para pelaut Nusantara. Para pelaut Tionghoa juga menggunakan kapal layar jenis ini. Jung memegang peranan penting dalam perdagangan Asia Tenggara masa lampau. Ia menyatukan jalur perdagangan Asia Tengara yang meliputi Campa (ujung selatan Vietnam) , Ayutthaya (Thailand), Aceh, Malaka dan Makassar.
Hanya saja, keadaan itu berbanding terbalik menjelang akhir abad ke-17, ketika perang Jawa tidak bisa lagi membawa hasil bumi dengan jungnya ke pelbagai penjuru dunia. Bahkan, orang Jawa sudah tidak lagi punya galangan kapal. Kantor Maskapai Perdagangan Hindia-Belanda (VOC) di Batavia melaporkan pada 1677 bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah tidak lagi memiliki kapal-kapal besar.
Para sejarawan menyimpulkan, jung dan tradisi besar maritim Jawa hancur akibat ekspansi militer-perniagaan Belanda. Pada abad ke-17 kapal-kapal Jung Jawa cenderung dianggap sebagai saingan oleh Belanda (VOC), terutama jika jung-jung tersebut melakukan aktivitas perdagangan rempah-rempah dari Maluku atau perdagangan beras ke Malaka-Portugis. Pada pertengahan abad ke-17 perahu pribumi tidak lagi disebut sebagai Jung. Kapal yang terbesar adalah kapal milik penguasa, dalam bentuk kapal perang atau kapal pengangkut barang dengan desain Eropa atau Cina yang berada di tangan raja-raja Banten, Arakan dan Ayutthaya. Kata jung pada periode ini hanya digunakan untuk kapal milik orang Cina yang berbobot 200-800 ton. Menghilangnya Jung Jawa (juga Jung Asia Tenggara) dari perairan nusantara diakibatkan malapetaka yang ditimbulkan oleh orang-orang Eropa. Karena Jung adalah jenis kapal dagang, yang berukuran besar sehingga efisien untuk perdagangan, tetapi lemah secara pertahanan. Besarnya ukuran Jung menjadikan kapal tersebut tidak dapat berlayar dengan cepat untuk menghindarkan diri atau melakukan manuver menghindari serangan musuh, bangsa-bangsa Eropa.
Menurut Knaap, setelah kedatangan VOC di Nusantara sekitar abad ke 17 di Jawa dijumpai bentuk perahu Contingh (perahu contingh Jawa berukuran kecil bertiang satu), tiang (sejenis perahu besar), groap (perahu bertiang dua), galjoot (perahu layar berukuran lebar dan datar dengan satu geladak yang tinggi). Knaap juga menjelaskan bahwa jenis kapal di pulau Jawa setelah dikuasai oleh VOC, dapat diklasifikasikan menurut wilayah (rute) yang terbagi atas empat kategori yaitu:
a. Internasional : Spegelchip (kapal buritan besar),
b. Wilayah Asia : Scheepe (kapal kecil, wakang),
c. Antara pulau : Brigantijn (brigantine), Chialoup (shallop), gonting,
d. Lokal : Pancala, cuena, Mayang .
Pelayaran wilayah Asia dan Internasioanl menghubungkan wilayah Asia di luar Nusantara dengan Eropa. Adapun pelayaran antar pulau menghubungkan perjalanan dan pelayaran melalui laut Jawa tetapi tidak keluar dari kawasan Melayu dan Nusantara (Indonesia) sedangkan pelayaran lokal adalah pelayaran di kawasan pantai utara Jawa yang melibatkan daerah-daerah disekitar pantai utara Jawa.
Kapal-kapal VOC yang berlayar ke Jawa memiliki buritan yang luas dengan kapasitas kurang lebih 1000 ton. Kapal-kapal dengan kapasitas 200-600 ton banyak dinahkodai oleh pedagang Inggris dari India dan nahkoda Cina dari propinsi Fukienyang membawa barang-barang kelontong. Kapal-kapal Jawa yaitu goting berkapasitas antara 20-200 ton untuk pelayaran antara pulau. Pelayaran lokal dilayani kapal berkapasitas 13-20 ton dan untuk pelayaran di kawasan perairan dangkal dilakukan oleh kapal-kapal yang bawahnya datar dan laju diperairan sangat gesit. Kapal yang sering ditemukan di Jawa adalah jenis kapal Mayang yang sering digunakan untuk memancing.
Di wilayah Laut Jawa bagian Timur, tepatnya di sekitar pulau Madura (kepulauan Sapudi dan Kangean). Pada akhir abad ke-19 nampak jelas bahwa nelayan adalah mata pencaharian utama. Di daerah ini dijumpai berbagai jenis kapal atau perahu yang banyak digunakan oleh masyarakat setempat. Berdasarkan jenisnya, perahu kepualuan ini dikelompokkan dalam tiga jenis. Pertama, perahu bersayap yakni tipe yang berukuran kecil dan dapat berubah arah dengan cepat. Pada kedua sisi perahu dipasang dua cadik yang berfungsi sebagai pengendali. Perahu ini dibuat dari jenis bambu yang sangat besar, yang termasuk tipe perahu ini adalah Jakung, paduwang, kroman dan lomolowan. Kedua, perahu model sampan atau Kano yaitu perahu yang dibuat dari batang pohon besar dan tidak bersayap. Perahu sampan dengan kecepatan paling tinggi disebut letek-letek, sedang sampan dengan ukuran paling besar dan memiliki layar segitiga atau segi empat disebut mavang. Ketiga jenis perahu Bugis yang paling besar disebut padewak, jenis yang lebih kecil disebut pelari atau pejala, sedang jenis perahu yang paling kecil disebut soppek . Dan kapal Pinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau. Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia.

Gambar 4. Jenis Perahu Bugis.
(Sumber: atlas etnografi yang terdapat dalam Boegineesch-Hollandsch Woordenboek dari B.F. Matthes, Den Hag. 1874.)



Penutup
Di Nusantara pelayaran menggunakan kapal-kapal tradisional dapat diketahui ketika ditemukannya peninggalan kerajaan-kerajaan. Seperti kerajaan Sriwijaya yang mempunyai kapal untuk dapat berfungsi sebagai alat transportasi untuk kegiatan perang dan perdagangan. Penemuan relief kapal di Borobudur juga membuktikan adanya kapal yang dibuat oleh penduduk di nusantara dan digunakan untuk kepentingan kerajaan maupun untuk kehidupan sehari-hari seperti memancing.
Kapal yang terkenal adalah kapal Jung yang merupakan pembuktian bahwa di Nusantara berkembang teknologi pembuatan kapal. Pada saat itu jung-jung ini menguasai jalur rempah rempah yang sangat penting, yang terbentang antara Malaka, Jawa, dan Maluku. Dan Kapal jenis ini yang membuat orang-orang Portugis terheran-heran mengenai kemajuan perkapalan di Nusantara pada awal abad XVI. Selain itu juga terdapat kapal-kapal dari Nusantara bagian timur seperti kapal pinisi dari Bugis.
Kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara, seperti Belanda mengakibatkan jumlah kapal-kapal di Nusantara berkurang. Akibat dari kekhawatiran pelayaran dari pribumi akan menghalangi niat Belanda untuk menguasai pelayaran di Nusantara sehingga kapal-kapal besar seperti Jung dilarang untuk berlayar dan rusak karena serangan Belanda.











DAFTAR PUSTAKA

Horridge, Adrian. 1981. The Prahu : Traditional Sailing Boat of Indonesia. Oxford University Press.

Irfan, Nia Kurnia Sholifat. 1983. Kerajaan Sriwijaya Pusat Pemerintahan dan Perkembangannya. Jakarta: Giri Mukti Pasaka.

Jochim, E.F. “Beschrijving van den Sapudi Archipel”, TBG. 1893. Dalam Lembaran Sejarah Vol. I. No. I. 1997.

Knaap, Gerrit 1995. “Shipping and Trade in Jawa, c. 1775: A Quantitative Analysis” Makalah pada ceramah ilmiah di Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung.
Manguin. 1980. “The Southeast Asian Ship: An Historical Approach. JSEAS, XI (2): 266-276.
Poesponegoro, Marwati Djoened, dkk. 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.

Roelofs Meilink,. MAP. 1969. Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1680. The Hague: Martinus Nijhoff.

Suroyo. Djuliati, A.M, dkk. 2007. Sejarah Maritim Indonesia I “menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad ke-17. Semarang: Penerbit Jeda.